Tips Hamil

Selasa, 25 Maret 2014

Mitos Larangan Memotret Di Kelenteng Dukuh Surabaya

Ada sebuah kelenteng yang tampak berbeda dengan kelenteng-kelenteng lainnya yang pernah saya kunjungi di berbagai kota. Kelenteng itu bernama Klenteng Hong Tiek Hian yang  merupakan klenteng tertua di Surabaya. 


Kelenteng ini juga bisa dikenal dengan nama Kelenteng Dukuh karena berada di Kampung Dukuh pada  kawasan bisnis pecinan Kembang Jepun Surabaya. 



Konon klenteng ini sudah ada sejak pasukan Tar-Tar menduduki Surabaya sebelum menyerang Kediri tahun 1293.



Kelenteng Dukuh memiliki bangunan dengan ornamen perlengkapan yang didominasi oleh warna coklat tua dan hitam. Ada nuansa gelap dan suram di sana. Hal ini tentu terbeda dengan bangunan dengan ornamen dan perlengkapan pada kelenteng-kelenteng lain yang umumnya bernuansa ceria dengan aneka warnanya yang terang dan mencolok.


Tak hanya itu saja perbedaannya. Di Kelenteng Dukuh ini juga ada mitos larangan untuk memotret. Entah sejak kapan adanya mitos itu. Konon, mitos itu menjelaskan bahwa siapapun yang memotret atau dipotret di kelenteng sana bisa berakibat pada berkurangnya umur mereka.



Saya dan rekan-rekan yang mengadakan wisata sejarah ke kelenteng Dukuh belum lama ini mengalami dan menjumpai beberapa wanita yang berusia paruh baya mendekati kami dan melarang untuk memotret kelenteng ini. 


Entah apa motivasi dan alasan mereka yang biasa duduk-duduk di bangku panjang dalam salah satu ruangan kelenteng.



Bahkan ada seorang wanita yang tampak mendatangi saya dengan emosi. Dengan marah-marah, dia memerintah saya agar segera menghapus foto dirinya dan temantemannya yang saya potret. Walau sebenarnya potret itu secara siluet dan tidak menunjukkan wajahnya sama sekali.



Bahkan wanita itu juga datang kembali dan marah-marah ketika saya memotret obyek yang lainnya seperti pentas wayang potehi, orang-orang yang membuat kertas doa, suasana di sekitar kelenteng dan sebagainya. 



Saya tahu dan menyadari bahwa memang ada aturan secara tidak tertulis untuk tidak masuk, mendekat dan memotret altar-altar utama dimana terdapat arca dewa-dewa sesembahan di dalam kelenteng karena bisa mengganggu kenyamanan umat yang sedang beribadah. Dan memang saya tidak melakukan hal itu di sana.



Tetapi yang saya herankan, kenapa wanita itu juga tetap emosi dan marah-marah walau saya tidak memotretnya lagi? Bahkan dia juga mengancam akan menempeleng saya jika memotret lagi dan  menakut-nakuti kalau saya dan siapapun yang memotret dalam kelenteng ini bisa segera mendapatkan musibah atau celaka yang mengancam nyawa.



Entah apa motivasi dan alasan mereka melakukan hal itu. Bukankan kunjungan saya dan rekan-rekan lainnya ke Kelenteng Dukuh juga untuk menyimak, mengagumi, merekam dan berbagi pada yang lainnya tentang sejarah dan keindahan yang ada di sana? Kenapa niat dan itikad baik itu bersambut dengan perasaan emosi dan marah-marah dari ulah beberapa wanita lanjut usia yang ada di sana?



Dari berdiskusi dengan sesama rekan, ada banyak yang berpendapat bahwa mungkin ulah mereka hanya bermotivasi pada uang saja. Mereka mungkin akan berbeda sikap jika diberi sejumlah uang. Karena logikanya, kalau memang dilarang memotret di kawasan Kelenteng Dukuh, tentu ada papan yang bertuliskan larangan untuk memotret di sana. Bukankah orang-orang lainnya yang ada di sana juga tak perduli dan membiarkan tentang hal itu jika memang pengunjung itu datang dengan baik , sopan dan menjaga sikap?




Logikanya pula jika larangan itu sudah ada dan berlaku sejak lama, tentu tak ada foto-foto tentang Kelenteng Dukuh yang beredar di dunia maya atau tampil dalam mesin pencarian seperti Google, Bing, Yahoo dan sebagainya.



Karena itu, semoga pihak-pihak yang terkait di Kelenteng Dukuh bisa memberikan perhatian dan teguran pada ulah mereka yang tak simpatik. Jangan sampai terjadi lagi ada pengunjung yang datang dari jauh ke kelenteng Dukuh ini dengan niat dan itikad baik, justru mendapatkan kemarahan dari ulah beberapa gelintir orang yan aneh, reseh dan sangat menjengkelkan seperti itu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar