Di antara benda-benda koleksi tetap museum ini, terpajang pula puluhan radio dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Tentu bukan radio biasa karena merupakan radio kuno yang terkenal pada masanya.
Pameran radio kuno yang bertajuk Layang Swara , Radio Dari Masa Ke Masa itu akan berlangsung hingga 13 April mendatang. Even ini digelar dalam rangka memperingati Hari Siaran Nasional pada tanggal 1 April.
Diadakan bekerja sama dengan Bentara Budaya Yogyakarta ( BBY ) dengan tujuan untuk mengajak masyarakat mengenal radio-radio lama yang pernah eksis pada masa lampau.
Cukup menarik menyimak koleksi yang berjumlah 56 radio dengan berbagai merk milik para kolektor dari kelompok ‘Padmaditya’ ( Pelestari Audio Radio Yogyakarta) , Koleksinya merupakan radio yang diproduksi antara tahun 1946 – 1970.
Diantaranya adalah radio bermerk Philips Aida produk tahun 1946 paska Perang Dunia II. Radio buatan Eindhoven, Belanda ini dilengkapi dengan skala gelombang radio yang dilengkapi dengan tulisan nama-nama kota dalam ejaan lama seperti Batavia, Soerabaia, dan Bandoeng.
Ada juga radio Philips bertipe Kompas yang juga diproduksi paska Perang Dunia II. Radio ini memiliki keunikan karena pada jarum gelombangnya mirip dengan jarum kompas.
Begitu pula dengan Bence, radio yang dipasarkan di Indonesia sekitar tahun 1950-an dan diproduksi di daerah Jl. Dinoyo, Surabaya.
Di etalase lainnya terpajang radio kuno yang berbentuk megaphone dengan bentuknya yang besar seperti kelopak bunga kangkung.
Megaphone kuno itu pernah dipakai sebagai properti dalam film tentang Soegija Pranata. Belanda,
Menurut Hermanu , Kepala BBY sekaligus koordinator pameran Layang Swara, sejumlah perangkat audio kuno seperti radio-radio ini punya kelebihan yang bisa jadi tidak dimiliki oleh perangkat audio di zaman ini. Termasuk keunikan desain serta kualitas suara yang jauh berbeda.
Yang menarik, diantara radio-radio produksi Belanda, Jerman, Jepang,Ceko dan Indonesia itu ada radio yang diproduksi pada tahun 1925 yang masih bisa berfungsi dan mengeluarkan bunyi yang masih nisbi-bagus dan masih mampu menangkap gelombang AM dan FM.
Aneka radio yang dipamerkan di House Of Sampoerna itu merupakan milik tujuh anggota komunitas.
Kondisi puluhan radio dan megaphone kuno itu nisbi bagus atau berkisar 80 persen karena cukup terawat.
Bahkan pada salah satu radio pada bagian belakangnya dalam keadaan terbuka sehingga kita bisa menyimak bentuk mesin dan komponennya.
Tak kalah menariknya adalah pajangan salinan sebuah artikel berjudul Koesbini, Djempolan Radio. Artikel dalam ejaan lama itu diterbitkan oleh sebuah penerbitan di Yogyakarta pada masa lampau.
Menyimak koleksi dalam pameran radio Layang Swara ini seakan membawa kita bernostalgia pada kenangan masa lampau.
www.jelajah-nesia.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar